URUTAN KEEMPAT “100 TOKOH”: BUDDHA (563 SM - 483 SM)

Posted by mochihotoru | Posted in | Posted on 8:25:00 PM

Gautama Buddha, Shakyamuni Buddha, atau Siddhartha Gautama, yang bernama asli pangeran Siddhattha Gotama, pendiri agama Buddha, salah satu dari agama terbesar di dunia. Putra raja Kapilavastu, timur laut India, berbatasan dengan Nepal. Siddhartha sendiri (marga Gautama dari suku Sakya) konon lahir di Lumbini yang kini termasuk wilayah negara Nepal. Menikah pada umur enam belas tahun dengan sepupunya yang sebaya. Dibesarkan di dalam istana mewah, pangeran Siddhartha tak betah dengan hidup enak berleha-leha, dan dirundung rasa tidak puas yang amat sangat. Dari jendela istana yang gemerlapan ia menjenguk ke luar dan tampak olehnya orang-orang miskin terkapar di jalan-jalan, makan pagi sore tidak, atau tidak mampu makan sama sekali. Hari demi hari mengejar kebutuhan hidup yang tak kunjung terjangkau bagai seikat gandum di gantung di moncong keledai. Katakanlah itu yang gembel. Sedangkan yang berpunya pun sering kehinggapan rasa tak puas, waswas gelisah, kecewa dan murung karena dihantui serba penyakit yang setiap waktu menyeretnya ke liang lahat. Siddhartha berpikir, keadaan ini mesti diubah. Mesti terwujud makna hidup dalam arti kata yang sesungguhnya, dan bukan sekadar kesenangan yang bersifat sementara yang senantiasa dibayangi dengan penderitaan dan kematian.

Tatkala berumur dua puluh sembilan tahun, tak lama sesudah putra pertamanya lahir, Gautama mengambil keputusan ia mesti meninggalkan kehidupan istananya dan menghambakan diri kepada upaya mencari kebenaran sejati yang bukan sepuhan. Berpikir bukan sekadar berpikir, melainkan bertindak. Dengan lenggang kangkung ia tinggalkan istana, tanpa membawa serta anak dan istri, tanpa membawa barang dan harta apapun, dan menjadi gelandangan tanpa uang sepeser pun di kantong. Langkah pertama, untuk sementara waktu, ia menuntut ilmu dari orang-orang bijak yang ada saat itu dan sesudah merasa cukup mengantongi ilmu pengetahuan, ia sampai pada tingkat kesimpulan pemecahan masalah ketidakpuasan manusia.

Umum beranggapan, bertapa itu jalan menuju kearifan sejati. Atas dasar anggapan itu Gautama mencoba menjadi seorang pertapa, bertahun-tahun puasa serta menahan nafsu sehebat-hebatnya. Akhimya ia sadar laku menyiksa diri ujung-ujungnya cuma mengaburkan pikiran, dan bukannya malah menuntun lebih dekat kepada kebenaran sejati. Pikir punya pikir, ia putuskan untuk makan saja seperti layaknya manusia normal dan berhenti bertapa karena perbuatan itu bukan saja tidak ada gunanya melainkan bisa membuat badan kurus, lemah, mata berkunang-kunang, mengantuk, linu, bahkan juga mendekati kebodohan.

Dalam kesendirian yang tenang dan tentram, ia bergumul dengan kehidupan yang penuh problem manusiawi. Akhirnya pada suatu malam, ketika ia sedang duduk di bawah sebuah pohon berdaun lebar dan berbuahkan semacam bentuk buah pir yang sarat biji, maka berdatanganlah teka-teki masalah kehidupan seakan berjatuhan menimpanya. Semalam suntuk Siddhartha merenung dalam-dalam. Ketika mentari merekah di ufuk timur, ia tersentak dan bersamaan dengan itu ia yakin bahwa persoalan-persoalan yang rumit itu telah terpecahkan. Iia pun mulai saat itu menyebut dirinya Buddha “orang yang diberi penerangan.”

Pada saat itu umurnya menginjak tiga puluh lima tahun. Sisa umurnya yang empat puluh lima tahun dipergunakannya berkelana sepanjang India bagian utara, menyebarkan filosofi barunya di depan khalayak siapa saja yang sudi mendengarkan. Saat ia wafat, tahun 483 Sebelum Masehi, sudah ratusan ribu orang mengikuti ajarannya. Meskipun ucapan-ucapannya masih belum ditulis orang tapi petuah-petuahnya dihafal oleh banyak pengikutnya, lalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat mulut semata.

Pokok ajaran Buddha dapat diringkas di dalam apa yang menurut istilah penganutnya “Empat Kebajikan Kebenaran”. Pertama, kehidupan manusia itu pada dasarnya tidak bahagia. Kedua, sebab-musabab ketidakbahagiaan itu adalah karena memikirkan kepentingan diri sendiri serta terbelenggu oleh nafsu. Ketiga, pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis bilamana segala nafsu dan hasrat dapat ditiadakan, dalam ajaran Buddha disebut Nirwana. Keempat, menimbang benar, berpikir benar, berbicara benar, berbuat benar, cari nafkah benar, berusaha benar, mengingat benar, meditasi benar. Dapat ditambahkan agama Buddha itu terbuka buat siapa saja, tak peduli dari ras apapun berasal (ini yang membedakannya dengan agama Hindu).

Beberapa saat sesudah Gautama wafat agama baru ini merambat pelan. Pada abad ke-3 sebelum Masehi, seorang kaisar India yang besar kuasa bernama Asoka menjadi pemeluk agama Buddha. Berkat dukungannya, penyebaran agama Buddha melesat deras, bukan saja di India, tapi juga di Birma. Dari sini agama itu menjalar ke seluruh Asia Tenggara, ke Malaysia dan Indonesia.

Angin penyebaran pengaruh itu bukan cuma bertiup ke selatan melainkan juga ke utara, menerobos masuk Tibet, ke Afganistan dan Asia Tengah. Tidak sampai situ. Agama ini juga merambah ke Cina dan memberi pengaruh yang bukan main besarnya. Dari sana, agama Buddha menyeberang ke Jepang dan Korea.

Sedangkan di India sendiri agama baru itu mulai menurun pengaruhnya sesudah sekitar tahun 500 Masehi malahan nyaris punah di tahun 1200. Sebaliknya di Cina dan di Jepang, agama Buddha tetap bertahan sebagai agama pokok. Begitu pula di Tibet dan Asia Tenggara agama itu mengalami masa jayanya berabad-abad.

Ajaran-ajaran Buddha tidak tertulis hingga berabad-abad sesudah wafatnya Gautama. Karena itu mudahlah dimaklumi mengapa agama itu terpecah-pecah ke dalam pelbagai sekte. Dua cabang besar agama Buddha adalah cabang Theravada, yang pengaruhnya terutama di Asia Tenggara dan menurut anggapan sebagian besar sarjana-sarjana Barat cabang inilah yang paling mendekati ajaran-ajaran Buddha yang asli. Cabang lainnya adalah Mahayana, bobot pengaruhnya terletak di Tibet, Cina dan juga di Asia Tenggara secara umum.

Buddha, selaku pendiri salah satu agama terbesar di dunia, jelas layak menduduki urutan tingkat hampir teratas dalam daftar buku 100 Tokoh ini. Karena jumlah pemeluk agama Buddha tinggal 200 juta dibanding dengan pemeluk agama Islam yang mencapai 500 juta dan pemeluk Agama Kristen yang mencapai satu milyar. Dengan sendirinya pengaruh Buddha lebih kecil ketimbang Muhammad atau Yesus Kristus (Isa Almasih). Akan tetapi, beda jumlah penganut—jika dijadikan ukuran yang ketat secara berlebihan—bisa juga menyesatkan. Misalnya, matinya atau merosotnya agama Buddha di India bukan merosot sembarang merosot, melainkan karena agama Hindu sudah menyerap banyak ajaran dan prinsip-prinsip Buddha ke dalam tubuhnya. Di Cina pun, sejumlah besar penduduk yang tidak lagi terang-terangan menyebut dirinya penganut Buddha dalam praktik kehidupan sehari-hari sebenarnya amat di pengaruhi oleh filosofi agama.

Agama Buddha, jauh mengungguli baik Islam maupun Kekristenan, punya anasir pasifis yang amat menonjol. Pandangan yang berpangkal pada tanpa kekerasan ini memainkan peranan penting dalam sejarah politik negara-negara berpenganut Buddha.

Banyak orang berpendapat, bila suatu saat kelak Yesus turun kembali ke bumi ia akan terkaget-kaget melihat segala apa yang dilakukan orang atas nama-Nya, dan akan cemas atas pertumpahan darah yang terjadi dalam pertentangan antar sekte yang saling berbeda pendapat yang sama-sama mengaku jadi pengikut-Nya. Begitu juga akan terjadi pada diri sang Buddha. Ia tak bisa tidak ternganga-nganga menyaksikan begitu banyaknya sekte-sekte agama Buddha yang bertumbuhan di mana-mana, saling berbeda satu sama lain walau semuanya mengaku pemeluk Buddhisme. Namun, bagaimanapun semrawutnya sekte-sekte yang saling berbeda itu tidaklah sampai menimbulkan perang agama berdarah seperti terjadi di dunia Kristen-Eropa. Dalam hubungan ini, paling sedikit berarti ajaran Buddha tampak jauh mendalam dihayati oleh pemeluknya ketimbang ajaran-ajaran Yesus dalam kaitan yang sama.

Buddha dan Kong Hu-Cu kira-kira punya pengaruh setaraf terhadap dunia. Keduanya hidup di kurun waktu yang hampir bersamaan, dan jumlah pengikutnya pun tak jauh beda. Pilihan penulis menempatkan nama Buddha lebih dulu daripada Kong Hu Cu dalam urutan disandarkan atas dua pertimbangan: pertama, perkembangan Komunisme di Cina nyaris menyapu habis pengaruh Kong Hu Cu, sedangkan tampaknya masa depan Buddha masih lebih banyak celah dan pengaruh ketimbang dalam Kong Hu Cu; kedua, kegagalan ajaran Kong Hu Cu menyebar luas ke luar batas Cina menunjukkan betapa erat taut bertautnya ajaran Kong Hu Cu dengan sikap dan tata cara zaman Cina lama. Sebaliknya, ajaran Buddha tak ada mengandung pemyataan ulangan atau mengunyah-ngunyah filosofi India terdahulu, dan agama Buddha menyebar melangkah batas pekarangan negerinya—India—bersandarkan gagasan tulen Gautama serta jangkauan luas filosofinya.

(terjemahan dari buku “100 Tokoh” karya Michael H. Hart)

Comments (0)

Post a Comment