MENGAPA ALLAH DIPANGGIL BAPA?

Posted by mochihotoru | Posted in , , , | Posted on 11:00:00 PM

Sering terjadi kesalahpahaman di antara umat muslim ketika umat kristiani memanggi Allah dengan sebutan “Bapa”. Banyak yang mengira bahwa “Allah kawin dengan Bunda Maria ataupun Roh Kudus lalu melahirkan Yesus sebagai Putra.” Tentu saja pandangan ini tidak benar. Karena itulah, perlu ada penjelasan mengenai kesalahpahaman ini.

Sebenarnya, bukan hanya umat kristiani yang memanggil ALLAH (Yahweh) dengan sebutan “Bapa”, umat yahudi pun memanggil-Nya dengan sebutan yang sama. Bahkan panggilan ini sebenarnya bermula dari tradisi mereka untuk memuliakan Tuhan Allah. Allah sendirilah yang pertama kali menyatakan secara implisit bahwa Dia adalah Bapa bagi bangsa Israel (lihat Kel 4:22), sedangkan Musa adalah orang pertama tercatat dalam Alkitab yang memanggil-Nya Bapa (lihat Kel 15:2).

Umat kristiani, khususnya umat Katolik, memanggil Allah sebagai Bapa, pertama-tama karena Yesus Kristus sendiri yang telah mengajarkannya. Lalu, ketika kedua belas rasul-Nya bertanya bagaimana caranya berdoa, maka Kristus mengajarkan doa Bapa Kami (lihat Mat 6:9-13; Luk 11:2-4), dan dengan demikian memanggil Allah sebagai “Bapa”. Sebelumnya, dalam khotbah di bukit, Yesus pun mengajarkan agar kita berusaha untuk hidup sempurna, sama seperti Allah, sang Bapa di surga yang juga Sempurna (lihat Mat 5:48).

Selanjutnya umat kristiani menyadari bahwa kita dapat memanggil Allah sebagai Bapa sebab umat kristiani meyakini bahwa mereka telah diangkat oleh Kristus menjadi saudara dan saudari-Nya melalui pembaptisan (permandian kudus). Oleh sebab itu kita dapat memanggil Bapa sebagai “Abba, Bapa” (Rom 8:15; Gal 4:6).

Dalam Katekismus Gereja Katolik diajarkan:

KGK 239 Kalau bahasa iman menamakan Allah itu “Bapa”, maka ia menunjukkan terutama kepada dua aspek: bahwa Allah adalah awal mula segala sesuatu dan otoritas yang mulia dan sekaligus kebaikan dan kepedulian yang penuh kasih akan semua anak-Nya. Kebaikan Allah sebagai orang-tua ini dapat dinyatakan juga dalam gambar keibuan (Bdk. Yes 66:13; Mzm 131:2), yang lebih menekankan imanensi Allah, hubungan mesra antara Allah dan ciptaan-Nya. Dengan demikian bahasa iman menimba dari pengalaman manusia dengan orang-tuanya, yang baginya boleh dikatakan wakil-wakil Allah yang pertama. Tetapi sebagaimana pengalaman menunjukkan, orang-tua manusiawi itu dapat juga membuat kesalahan dan dengan demikian menodai citra kebapaan dan keibuan. Karena itu perlu diperingatkan bahwa Allah melampaui perbedaan jenis kelamin pada manusia. Ia bukan pria, bukan juga wanita; Ia adalah Allah. Ia juga melebihi kebapaan dan keibuan manusiawi (Bdk. Mzm 27:10), walaupun Ia adalah awal dan ukurannya (Bdk. Ef 3:14; Yes 49:15). Tidak ada seorang bapa seperti Allah.

Selain itu, Allah disebut Bapa juga berkaitan dengan hakikat ALLAH yang menciptakan, mengasihi, memelihara dan mendidik umat-Nya yaitu kita semua—demi keselamatan kita.

Kisah penciptaan Allah dapat kita baca dalam kitab Kejadian 1-2. Kasih kebapaan Allah kita lihat kisah Anak yang hilang (Luk 15:11-32). Sedangkan Allah memelihara kita (lihat Luk 12:22-24) dan mendidik kita seperti seorang ayah mendidik anaknya (lihat Ibr 12:6). Jadi kebapaan Allah bukanlah untuk diartikan dengan Allah telah menikah dengan Bunda Maria—seperti banyak dipikirkan orang. Ini adalah tanggapan yang sangat, sangat keliru! Allah adalah Sang Pencipta Yang Mahasuci, dan Allah itu Roh (Yoh 4:24), dan karenanya tidak kawin dan dikawinkan, seperti halnya manusia ciptaan-Nya (lihat Luk 20:34-35). Bahwa karena besar kasih-Ny,a Allah memutuskan untuk mengutus Putra-Nya, Yesus Kristus, untuk menjadi manusia (lih. Yoh 3:16), tidak menjadikan-Nya menikah dengan manusia. Yang terjadi adalah Roh Allah itu turun atas Bunda Maria, sehingga Bunda Maria dapat mengandung Kristus, meskipun tanpa melibatkan benih seorang laki-laki. Hal ini dituliskan dalam kabar gembira malaikat Gabriel (Jibril) seperti tertulis dalam Kitab Suci, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Luk 1:35)

Namun bagi umat kristiani arus utama, seperti Katolik maupun Protestan, istilah ‘Bapa’ yang disebutkan Yesus memiliki arti yang sangat khusus, yang tidak mungkin disamakan dengan hubungan antara kita (umat ciptaan-Nya) dengan Allah (Sang Pencipta). Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

KGK 240 Yesus mewahyukan bahwa Allah merupakan “Bapa” dalam arti tak terduga: tidak hanya sebagai Pencipta, tetapi sebagai Bapa yang kekal dalam hubungannya dengan Putra-Nya yang tunggal, yang adalah Putra hanya dalam hubungan-Nya dengan Bapa-Nya: “Tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang-orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” (Mat 11:27)

KGK 242 Pengakuan para Rasul itu dipelihara oleh tradisi apostolik, dan sebagai akibatnya Gereja dalam tahun 325 pada konsili ekumene pertama di Nisea mengakui bahwa Putra adalah “sehakikat [homoousios, consubstantialis] dengan Bapa”, artinya satu Allah yang Esa bersama dengan-Nya. Konsili ekumene kedua, yang berkumpul di Konstantinopel tahun 381, mempertahankan ungkapan ini dalam rumusannya mengenai iman Nisea dan mengakui “Putra Allah yang tunggal” sebagai yang “dilahirkan dari Bapa sebelum segala abad: Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa” (DS 150).

Banyak orang non-kristiani berargumen bahwa Allah menciptakan Yesus Kristus (Isa Almasih) dengan hanya Firman sehingga tidak mungkin Yesus merupakan Anak Allah. Namun, dalam penafsiran seperti umat kristiani Katolik, ini keliru. Allah tidak menciptakan Yesus dengan firman-Nya, dan Yesus bukanlah ciptaan Allah. Bagi mereka, Yesus sendiri adalah ALLAH (Yahweh). Ia disebut “Allah Putra” atau “Allah Anak” yang hakikatnya sama dengan Allah Bapa. Yesus, “Allah Putra”, dikenal sebagai Sang Firman yang sudah ada sejak awal mula, dan “Ia bersama- sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” (Yoh 1:1). Yesus sebagai Sang Firman ini tidak terpisah dari TUHAN Allah (Yahweh, Allah Bapa), bagaikan terang tak terpisahkan dari sumbernya, sehingga dikatakan dalam Kredo/ Syahadat Aku Percaya, yang ditetapkan dalam Konsili Nicea 325 M dan ditegaskan dalam Konsili Konstantinopel 381 M, “Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad”. Artinya, Yesus sebagai Allah Putra, sudah ada sejak awal mula, dan di dalam Dia segala sesuatu dijadikan (Yoh 1:3).

Penafsiran inilah yang tidak diterima oleh umat yahudi dan umat kristiani Restorasionisme yang masih memakai istilah “Bapa” dan “Anak” sesuai pengertian awal. Umat Restorasionisme menganggap sebutan Bapa secara khusus oleh Yesus sama sekali tidak menunjukkan bahwa Dia tidak sehakikat dengan ALLAH; tetapi karena Sang Firman—yang disebut allah seperti Musa dalam Kel 7:1—merupakan ciptaan pertama yang oleh-Nya segala sesuatu dijadikan (1 Kor 8:6).

Kesimpulannya, bagaimanapun pengertian “Bapa” dan “Putra/ Anak” ini sama sekali tidak untuk diartikan bahwa Allah lahir dari hubungan suami-istri secara biologis—seperti yang banyak umat muslim pikirkan. Sebab bagaimanapun Allah itu Mahasuci. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Istilah yang diambil dari tradisi Ibrani ini hanya untuk menunjukkan relasi yang intim antara Allah dan umat-Nya yang senang membawa damai. Maka dari itu, istilah ini hanya bisa dipahami secara metaforis, bukan secara harfiah.

(www.sammy-summer.co.cc)

Comments (1)

Kesimpulan yesus itu umat (dengan status sebagai utusan Allah) artinya bukan Allah. Yesus adalah umat yg intim dengan Allah sehingga memanggil Allah dengan Bapa.
Jhon 17:3

Post a Comment