KETIKA KEBENARAN DITAFSIRKAN
Posted by mochihotoru | Posted in Analysis, Holy Books, Religions, Thoughts | Posted on 10:35:00 PM
Oleh Sukidi
Ekam Sat Vipraha Bahudha Vadanti. Kalimat berbahasa Sanskrit ini termuat dalam Rig Veda dan diinterpretasikan umat Hindu sebagai cara mendekati Tuhan. Pilihannya bukan Brahman, tapi Sat: Realitas, Kebenaran, atau Paul Tillich menyebutnya The Ultimate Reality. Ekam Sat Vipraha Bahudha Vadanti diinterpretasikan bahwa Realitas dan Kebenaran adalah Tunggal, tapi kita menyebutnya dengan beragam nama. Tuhan yang Satu pun diberikan nama-nama, dan kemudian menjadi plural. Karena itu, para sarjana berspekulasi bahwa tradisi Hindu bukanlah tradisi monoteisme secara teologis, tapi justru politeisme. Sayang, ada perspektif yang terlupakan dalam studi teologi Hindu. Diana Eck, profesor Indian Sanskrit di Universitas Harvard, memperkenalkan darshana: soal “perspektif” dan “sudut pandang” dalam mendekati Tuhan.
Dalam Upanishad Brihadaranyaka, Vidagdha Sakalya mengajukan dialog kreatif atas masalah politeisme kepada Yajnavalkya, seorang guru visioner dalam Hindu. “Ada berapa banyak tuhan, hai Yajnavalkya?” tanyanya. “Sebanyak yang disebutkan dalam Himne untuk Semua Tuhan, yakni 3.306,” jawabnya. “Ya,” sahut dia, “tapi hanya ada berapa tuhan, hai Yajnavalkya?” “Tiga puluh tiga,” jawabnya. “Ya,” sahutnya lagi, “tapi hanya ada berapa tuhan, hai Yajnavalkya?” “Enam,” jawabnya lagi. Dialog pun terus berlanjut. Dan jawabannya pun terus mendekati jumlah minimal. Tiga dan bahkan sampai dua tuhan. “Ya,” sahutnya lagi, “tapi hanya ada berapa tuhan, ya Yajnavalkya?” “Satu setengah,” jawabnya. “Ya,” sahutnya terakhir kali, “tapi hanya ada berapa tuhan, ya Yajnavalkya?” “Satu,” jawab Yajnavalkya yang akhirnya meneguhkan monoteisme dalam teologi Hindu.
Jawaban monoteisme dari turunan politeisme, dengan memakai kerangka darshana model profesor Eck, mengindikasikan bahwa tradisi Hindu adalah monoteisme dan sekaligus politeisme secara teologis. Tapi, semua tuhan yang banyak dan plural itu—politeisme, adalah sekadar nama dan rupa. Sanskrit menyebutnya namarupa, dan karena itu menjadi many, banyak. Sungguh pun begitu, sebenarnya tetap saja One, Satu. Many tapi One, dan One yang menjelma menjadi Many—yang menjadi cara pandang yang adaptif di kalangan perennialis and new age, menegaskan bahwa Kebenaran dan Tuhan adalah One secara esensial, tapi menjadi many—dalam bentuk “kebenaran-kebenaran” dan “tuhan-tuhan”—ketika ditangkap dan diinterpretasi oleh milyaran umat manusia dengan latar belakang agama, etnik, ras, dan bangsa yang berbeda-beda.
Demikianlah, kita mengimani Tuhan yang Satu, yang diinterpretasi dan diekspresikan melalui beragam nama, menjadi tuhan-tuhan. Doa harian umat Sikh dimulai dengan kata One Ekhi Omkar, Satu adalah Tuhan dan Realitas Tertinggi adalah Satu. Syema, yang setiap hari dilantunkan umat Yahudi, meneguhkan yang Satu: “Dengarlah, hai Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Satu” (Shema Yisra’el YHVH Eloheinu YHVH Echad). Umat Islam meneguhkan Tuhan yang Satu melalui syahadat, yaitu afirmasi iman kepada Allah dengan menegasikan sesembahan-sesembahan lain, dengan mengucapkan “Tiada ilah selain ALLAH” (Asyhadu an laa ilaaha illa ALLAH). Era Kristen awal, Paulus, yang melakukan perjumpaan iman dengan orang-orang Yunani di Atena beserta tuhan-tuhan mereka, memproklamasikan bahwa Yang Satu, yang harus disembah mereka sebagai yang tak diketahui, adalah TUHAN yang Satu yang menciptakan langit dan bumi. One secara esensi, menjadi many pada tingkat manifestasi. Itulah Kebenaran dan Tuhan, menjadi kebenaran-kebenaran dan tuhan-tuhan—atau ilah-ilah—ketika diinterpretasi dan dihayati oleh milyaran umat manusia yang berbeda dari segi agama, etnik, ras, dan bangsa.
Karena kita hidup dan dihadapkan pada kenyataan pluralitas agama, maka kita, didasari pada the will to believe, meyakini bahwa Kebenaran dan Tuhan yang telah dan terus diinterpretasikan milyaran umat manusia, telah dan tetap akan berwajah plural, dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal, dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama, dengan mendeklarasikan bahwa semua agama—entah itu Hinduisme, Buddhisme, Yudaisme, Kekristenan, Islam, Zoroaster, dan lain-lain—adalah benar, dan konsekuensinya, kebenaran [sebenarnya] ada dan ditemukan pada semua agama. Ibaratkan agama-agama ini, dalam nalar pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang satu inilah yang menjadi asal dan orientasi dari agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullah), yang tidak mungkin berubah, dan karenanya, mustahil pula kita lawan dan hindari. Sebagai seorang muslim pun, tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum TUHAN.
*) Penulis adalah mahasiswa S2 di Universitas Ohio, Athens, Amerika.
Comments (0)
Post a Comment